Kondisi lahan pertanian yang sebagian besar tandus, mendorong angka merantau atau boro warga Kabupaten Wonogiri cukup tinggi. Saat ini, sekitar 1,3 juta penduduk Wonogiri, sebesar 10-15 persen merantau ke berbagai kota besar.
Kurangnya alternatif selain pekerjaan di bidang agraris yang bisa ditemukan di Kabupaten Wonogiri, membuat banyak warga lebih suka merantau mencari sumber penghidupan baru di tanah orang.
Meski ada Waduk Gajah Mungkur yang dulu dibangun dengan menenggelamkan 51 desa di 7 kecamatan di Kabupaten Wonogiri, namun air yang dimanfaatkan untuk irigasi hanya bisa dinikmati lahan pertanian di Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, dan Sragen.
Sebenarnya, ada banyak potensi yang bisa digali sebagai alternatif pekerjaan, namun selama ini belum tergarap maksimal. Dari Waduk Gajah Mungkur ada sektor perikanan dan pariwisata yang muncul.
Di sektor perikanan sejak tahun 1992, bermunculan keramba jaring apung (KJA) yang dibuat warga yang tinggal di tepi waduk. Hal ini diilhami dari beroperasinya PT Aquafarm Nusantara, perusahaan modal asing dari Swiss yang membuat KJA untuk memelihara ikan nila merah. Perusahaan ini mengekspor fillet ikan nila ke Jepang. Catatan tahun 2007, terdapat 500 unit KJA dari kapasitas 2.000 unit dengan produksi 800 ton per tahun.
Kepala Dinas Kehewanan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Wonogiri Rully Pramono Retno melalui Kepala Subdinas Perikanan dan Kelautan Heru Sutopo mengungkapkan, setiap tahun rata-rata dihasilkan 900 ton ikan hasil budi daya dan 1.000 ton ikan hasil tangkap dari Waduk Gajah Mungkur yang memiliki luas genangan 8.800 hektar. Lahan yang digunakan untuk KJA seluas 176 hektar.
Petani ikan pemilik KJA dan nelayan yang memanfaatkan waduk terbagi dalam 15 kelompok yang tersebar di 6 kecamatan di sekitar waduk, yakni Wonogiri, Ngadirojo, Nguntoronadi, Eromoko, Baturetno, dan Wuryantoro.
Ketua Kelompok Petani Ikan dan Nelayan ”Patin” dari Desa Sendang, Kecamatan Wonogiri, Sutrisno (32), menuturkan, sebelum memanfaatkan ikan dari Waduk Gajah Mungkur, warga desanya sebagian besar menjadi buruh. Setelah tahun 1990-an, warga mulai beralih ke sektor perikanan menjadi nelayan dan petani ikan, dan lama-kelamaan taraf hidup warga mulai meningkat.
Beberapa tahun belakangan, muncul warga yang mengolah ikan, yakni menggoreng atau membakar ikan hasil tangkapan atau hasil budidaya dari waduk untuk kemudian dijual di pasar atau warung-warung yang tersebar di tepi waduk. Di Desa Sendang tak banyak warga yang merantau karena usaha dari sektor ini dirasakan cukup menghidupi keluarga. ”Setidaknya cukup untuk hidup sehari-hari,” kata Sutrisno.
Butuh modal besar
KJA mulai menjamur pada tahun 2003 dengan usaha utama pemeliharaan ikan nila merah. Namun tak banyak warga yang memiliki KJA karena butuh modal besar dan ketelatenan memelihara ikan. Sutrisno mencontohkan, kelompoknya yang beranggotakan 50 orang, hanya 5 orang yang memiliki KJA. Petani ikan sambil menunggu panen ikan, sehari-hari juga menjaring ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Satu kolam keramba ukuran 6 x 6 meter membutuhkan modal Rp 1 juta-Rp 4 juta, bergantung pada bahan pembuatnya, bambu, plat siku, atau pipa besi. Rata-rata petani mempunyai 5-10 kolam. ”Kemarin sempat ada bantuan dari dinas, yakni sewa kolam KJA Rp 300.000 per tahun. Sayangnya, hanya 16 petak,” kata Sutrisno.
Jika kondisi bagus, ikan nila dapat dipanen setelah 3,5-4 bulan. Jika sudah terjadi rotasi penanaman benih, tiap bulan bisa panen 7-8 kuintal dari 2.000 ekor benih yang disebar.
Harga jual ikan nila rata-rata Rp 15,000 per kg. Jika produksi sedang berlebih karena panen harga bisa anjlok menjadi Rp 13.000 per kg.
Dukungan pemerintah sangat penting karena sektor ini setidaknya dapat menjadi gantungan hidup dan mencegah warga desa 'lari' ke kota lain.
sumber info :http://regional.kompas.com/read/2010/12/20/04595719/Perikanan.di.Waduk.Gajah.Mungkur.yang.Menjanjikan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !